Ternyata Harga Goenawan Mohammad Hanya 50 Dolar Saja
Sepak terjang Goenawan Mohamad, bekas pemimpin tertinggi
Tempo yang amat kesohor sebagai tokoh liberal dan kini Neo-
Lib, dan amat dihormati di lingkungannya dengan panggilan
kehormatan : GM.
Namun kini tiba-tiba GM dikuliti oleh Wijaya Herlambang
dalam buku berjudul, "Kekerasan Budaya Pasca 1965" yang
terbit November 2013 lalu. Pengungkapan buku ini
membenarkan dugaan banyak pihak, bahwa GM dibiayai
lembaga filantropi mulai : Ford Fondation, Rockefeller
Fondation, Asia Fondation Open Society Institue, USAID juga
tokoh Yahudi George Soros.
Laporan ini tidak bermaksud hendak membedah buku
Kekerasan Budaya Pasca 1965, tapi sekadar mengutip di sana
sini riset yang dilakukan Wijaya Herlambang sang penulis
yang kini dosen di Universitas Pancasila dan Gunadarma,
tentang seorang GM.
Sangat menarik mengutip dalam buku itu, apa yang
dilakukan Ivan Kats, pimpinan teras CCF (Congress for Culture
Freedom) yang merupakan sayap operasi CIA, yang telah
membina GM pada 1960-an. Bagaimana Kats
berkorespondensi dengan GM pada 1969 dan terang-terangan
memperlakukan GM bak ‘kacung’, kita kutip
korespondensinya diantaranya :
"Saya ingin kamu memilih seorang pemikir Barat (saya
ingat kesukaanmu pada Camus), pilih 40-60 halaman
tulisannya. Terjemahkan atau kita minta orang lain
menterjemahkan, sesudah kamu memilih teksnya. (Tulis)
pengantar yang dalam dan tajam yang bisa menunjukkan
kenapa kamu, Gun, merasa bahwa penulis ini memiliki
pandangan yang penting bagi orang Indonesia atau
generasimu. Pilih sebuah teks dan bertarunglah dengan
si penulis bagai daimon Indonesia menghadapi kekuatan
cahaya. Atau sebaliknya…Saya akan membayarmu $50 di
awal kerja, dan $50 lagi pada saat pengiriman, ditambah
ongkos penerjemahan…Sementara itu, saya akan mencari
dana, dan akan mendapatkannya. Bagaimanapun, hak-
hakmu di atas saya jamin secara pribadi (20 November
1969)."
Sebuah perintah seorang agen Barat kepada seorang
komprador yang luar biasa, menghina sekaligus
penghargaannya yang sangat murah, kepada seorang GM, 50
dolar saja yang jika disetarakan nilai hari ini tak lebih dari
enam ratus ribu saja. Penulis buku itu, Wijaya Herlambang
kemudian membuktikan perintah Ivan Kats ini dikerjakan oleh
GM setelah pada 1988 Yayasan Obor menerbitkan terjemahan
tulisan Albert Camus yang dikumpulkan menjadi sebuah
bunga rampai berjudul "Krisis Kebebasan" dengan pengantar
Goenawan Mohamad.
Goenawan Mohamad sejak Tempo diberangus rezim Soeharto
(1994) menempatkan diri sebagai pelawan orde baru yang
handal. Dengan lenyapnya Tempo GM membangun Komunitas
Utan Kayu (KUK) yang bermarkas di Jalan Utan Kayu Jakarta
Timur. Lembaga ini kemudian melahirkan serenceng lembaga
kebudayaan mulai AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia), Jaringan
Islam Liberal (JIL), Teater Utan Kayu (TUK) yang diplesetkan
bulletin Boemiputra menjadi Tempat Umbar Kelamin, sekaligus
agen imperialis Barat.
Kehadiran JIL dirasakan umat Islam terbesar sebagai alat
penghancuran Islam di negeri ini. Karena itu JIL disebut
dibiayai lembaga filantropi Barat mencapai 150.000 USD/
tahun.
Pendek kata KUK melalui lobby GM ke sejumlah orang-orang
teras USAID, berhasil menguras dananya sebesar 100.000
-200.000 USD, sehingga menempatkan KUK sebagai agen
Barat. Termasuk mendirikan ISAI (Institut Studi Arus
Informasi) pada 1995 dan belakangan membangun Salihara di
kawasan Pasar Minggu sebagai pusat budaya.
Yang sangat dirasakan menyakitkan bagi kelompok Islam
mainstream, kehadiran KUK di bawah GM, misalnya Radio FM
68, JIL, bahkan berbagai penerbitan bawah tanahnya seperti
Bergerak, X-Pos hingga Tempo majalah dan Koran Tempo
yang kini sejak era reformasi, kembali terbit, kesemua produk
GM ini cenderung menghantam aspirasi Islam.
Kini terbongkar melalui buku Wijaya Herlambang, semua ini
tidak aneh, GM sejatinya seorang komprador sejati, yang
diakuinya sendiri, dia memang dibiayai serenceng lembaga
filantropi Barat dan Asia termasuk Asia Foundation dan Japan
Foundation, termasuk tokoh Yahudi Gerge Soros itu.
Memang Herlambang belum menyajikan ulasan bagaimana
peranan GM saat rezim Soeharto jatuh di mana Soros ikut
memainkan peranan menghancurkan ekonomi Indonesia.
Hanya dikutip sekilas GM bersama Adnan Buyung Nasution
terlihat menonjol di saat itu namun bukanlah dua orang itulah
sejatinya yang memainkan peranan terpenting dalam
reformasi Mei 1998 itu.
Yang jelas melalui seluruh penampilannya, GM cenderung
berlawanan arus dengan Islam. Tatkala umat Islam makin
bersikeras menentang eksistensi aliran sesat Ahmadiyah dan
mendesak pemerintah membubarkannya, awal 2008, GM dan
kelompoknya menentangnya dan mendirikan AKKBB (Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan)
dan memajang iklan di harian Kompas menunjukkan
eksistensinya seraya mengecam umat Islam mainstream yang
dituduhnya melanggar hak-hak asasi warga Ahmadiyah,
mengancam kebhinekaan, sekaligus menyebar kebencecian,
kekerasan, dan ketakutan di tengah masyarakat.
Pengumuman yang ditandatangani 250-an nama dengan
membawa sejumlah tokoh Islam yang kurang pikir, seperti
Syafii Maarif, Gus Dur, Amien Rais, Dawam Rahardjo, Utomo
Dananjaya, dan Djohan Effendi yang memang agen
Ahmadiyah, mengundang masyarakat menghadiri apel akbar di
Monas pada 1 Juni 2008. Jadilah bentrokan di bawah tugu
Monas dengan FPI yang mengakibatkan Munarman, SH dan
Habib Rizieq Syihab dijebloskan ke penjara.
Sejak peristiwa Monas itu berkembang adagium melalui
wacana dan opini pers bahwa umat Islam dituduh selalu
menolak keberagaman, melecehkan minoritas, menolak
pluralisme, bahkan tuduhan umat Islam dan sejumlah
Ormasnya cenderung memaksakan kehendak, bahkan dengan
cara-cara vandalisme, kekerasan fisik, dan kesemuanya itu
bagai dibiarkan saja oleh aparat keamanan. Contoh yang
sering dikemukakan dalam hal ketertindasan kaum minoritas
oleh Islam adalah kasus Gereja Yasmin di Bogor, kasus
bentrokan Cikeusik Banten dengan warga Ahmadiyah, juga
kasus Syiah di Sampang Madura.
Berbagai kasus yang disebutkan sebagai contoh itu dalam
berbagai rubrik di Suara Islam seringkali dibongkar fakta yang
sebenarnya terjadi yakni pemutar-balikan fakta yang sangat
kurang ajar.
Seperti dalam diskusi bertajuk "Memilih Presiden Peduli
Pluralisme" di Forum Alumni Fisip UI Jakarta (26/1), fitnah
kepada umat Islam kembali terjadi. Pemutarbalikan fakta di
lakukan oleh seoranng panelis. Dalam diskusi itu dihadirkan
panelis Budiarto Shambasy dari Kompas, Jaya Suprana, Alvin
Lee bekas tokoh PAN.
Pendapat Budiarto Shambasy esok harinya dilansir Kompas
dengan pernyataan : “Keberagaman sudah terancam sejak
insiden Monas 1 Juni 2008. Saat itu pawai kebhinekaan
diserbu kelompok radikal dan tidak pernah ada proses hukum
yang memberi efek jera. Tragedi Monas memicu insiden lain
yang tidak jelas penyelesain hukumnya seperti kasus HKBP
Philadelpia, Syiah Sampang Madura dan Gereja Yasmin
Bogor,” Demikian Budi Shambasyi.
Pernyataan ini walau keluar dari wartawan Kompas yang
dianggap selama ini sangat cerdas ternyata jauh dari fakta
yang sebenarnya. Ia menyebut insiden Monas tidak
diselesaikan secara hukum, tentu pernyataan yang sangat
salah, karena kasus itu telah menjebloskan Munarman SH ke
dalam penjara bersama Habib Rizieq, selama satu setengah
tahun. Betapa awamnya seorang Budi Shambasyi ? Itu urusan
dia sendiri. Jika dia mau mengikuti seluruh persidangan
insiden Monas itu, dia akan mengikuti bahwa Munarman dan
Habib Rizieq tidak bersalah. Setiap kali persidangan digelar
keduanya dengan telak selalu membuktikan dirinya tidak
bersalah. Namun mereka harus mengikuti kompromi mengikuti
vonis yang dijatuhkan karena tekanan penguasa. Dokumen
persidangan semua itu masih bisa dibaca dengan gamblang
oleh siapapun termasuk oleh wartawan Kompas yang kondang
sangat pintar itu.
Barangkali sikap Budiarto seperti itu hanyalah berlagak pilon,
asal aspirasi Islam apapun harus dihantamnya. Itulah yang
juga selalu dilakukan oleh GM yang kini mewabah di negeri ini
sebagai sebuah pesanan dari alat-alat propaganda dan
intelejen Barat, khususnya AS, seperti USAID, Rand
Corporation, dan serenceng lembaga filantropi mulai
Rockefeller Foundation, Ford Foundation dan serenceng
lembaga lainnya.
Dulu kita semua hanya menduga-duga peranan GM yang telah
menjadi alat Barat, misalnya dukungan GM kepada sistem
politik dan ekonomi liberal di Indonesia—khususnya akhir-
akhir ini—dan karena itu habis-habisan ia mendukung Wapres
Boediono, tapi kini pertanyaan itu terjawab dengan buku hasil
riset bertahun-tahun yang dilakukan Wijaya Herlambang
dalam bukunya "Kekerasan Pasca Budaya 1965". Ternyata GM
hanya dihargai limapuluh dolar saja.
(Noni Halimi)