Sabtu, 25 Oktober 2014

BUKU YANG MENG-HENTAK-KAN INDONESIA

Kekerasan Budaya Pasca 1965:
Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-
Komunisme Melalui Sastra dan Film

by Wijaya Herlambang
4.00 · 33 ratings

Orde Baru sukses dalam memelintir sejarah kiri di Indonesia
untuk mencitrakannya sebagai ideologi iblis yang menjadi
ancaman terbesar bagi negara. Terbukti, jauh sesudah Orde
Baru jatuh, anti-komunisme tetap bercokol kuat dalam
masyarakat Indonesia. Buku ini menjelajahi kembali faktor-
faktor yang membentuk dan memelihara ideologi anti-komunis
itu, bukan saja sebagai hasil dari kampanye politik, melainkan
juga hasil dari agresi kebudayaan, terutama melalui
pembenaran atas kekerasan yang dialami oleh anggota dan
simpatisan komunis pada 1965-1966.

Buku ini menganalisis upaya pemerintah Orde Baru beserta
agen-agen kebudayaannya dalam memanfaatkan produk-
produk budaya untuk melegitimasi pembantaian 1965-1966.
Dengan bukti-bukti empiris ditunjukkan bahwa intervensi
langsung CIA kepada para penulis dan budayawan liberal
Indonesia untuk membentuk ideologi anti-komunisme
bukanlah isapan jempol belaka. Siapa saja penulis yang
terlibat? Bagaimana metodenya? Sebagai tambahan, buku ini
juga menganalisis perlawanan kelompok-kelompok
kebudayaan Indonesia kontemporer terhadap warisan anti-
komunisme Orde Baru itu.

The fall of Indonesia's New Order in 1998 was not followed by
the demise of anti-communist ideology. On the contrary anti-
communism remains strong within the community. This book
traces some of the determinant factors which contributed to
the establishment and the survival of anti-communism in
Indonesia. This book argues that the survival of anti-
communist ideology was not only a result of political
campaigning but also and more importantly cultural
aggression against communism, particularly through the
justification of the violence experienced by the alleged
communist members in 1965-1966.The justification of the
1965-1966 violence which was carried out by the New Order
government and its cultural agents through cultural products
fundamentally underpinned the viewpoint of communism as
the ultimate enemy of the nation. This book also argues that
the legitimisation of the 1965-1966 violence was no less
brutal than the act of violence itself.By focusing on the
discussion of how the New Order government and its cultural
agents utilised cultural products in legitimating violence
against communists, this book attempts to explore the ways
in which the 1965-1966 violence was normalised. Less

DEMI UANG 50 DOLAR GUNAWAN MUHAMMAD MEMILIH MENJADI AGEN IMPERIALIS BARAT

Ternyata Harga Goenawan Mohammad Hanya 50 Dolar Saja

Sepak terjang Goenawan Mohamad, bekas pemimpin tertinggi
Tempo yang amat kesohor sebagai tokoh liberal dan kini Neo-
Lib, dan amat dihormati di lingkungannya dengan panggilan
kehormatan : GM.

Namun kini tiba-tiba GM dikuliti oleh Wijaya Herlambang
dalam buku berjudul, "Kekerasan Budaya Pasca 1965" yang
terbit November 2013 lalu. Pengungkapan buku ini
membenarkan dugaan banyak pihak, bahwa GM dibiayai
lembaga filantropi mulai : Ford Fondation, Rockefeller
Fondation, Asia Fondation Open Society Institue, USAID juga
tokoh Yahudi George Soros.

Laporan ini tidak bermaksud hendak membedah buku
Kekerasan Budaya Pasca 1965, tapi sekadar mengutip di sana
sini riset yang dilakukan Wijaya Herlambang sang penulis
yang kini dosen di Universitas Pancasila dan Gunadarma,
tentang seorang GM.

Sangat menarik mengutip dalam buku itu, apa yang
dilakukan Ivan Kats, pimpinan teras CCF (Congress for Culture
Freedom) yang merupakan sayap operasi CIA, yang telah
membina GM pada 1960-an. Bagaimana Kats
berkorespondensi dengan GM pada 1969 dan terang-terangan
memperlakukan GM bak ‘kacung’, kita kutip
korespondensinya diantaranya :

"Saya ingin kamu memilih seorang pemikir Barat (saya
ingat kesukaanmu pada Camus), pilih 40-60 halaman
tulisannya. Terjemahkan atau kita minta orang lain
menterjemahkan, sesudah kamu memilih teksnya. (Tulis)
pengantar yang dalam dan tajam yang bisa menunjukkan
kenapa kamu, Gun, merasa bahwa penulis ini memiliki
pandangan yang penting bagi orang Indonesia atau
generasimu. Pilih sebuah teks dan bertarunglah dengan
si penulis bagai daimon Indonesia menghadapi kekuatan
cahaya. Atau sebaliknya…Saya akan membayarmu $50 di
awal kerja, dan $50 lagi pada saat pengiriman, ditambah
ongkos penerjemahan…Sementara itu, saya akan mencari
dana, dan akan mendapatkannya. Bagaimanapun, hak-
hakmu di atas saya jamin secara pribadi (20 November
1969)."

Sebuah perintah seorang agen Barat kepada seorang
komprador yang luar biasa, menghina sekaligus
penghargaannya yang sangat murah, kepada seorang GM, 50
dolar saja yang jika disetarakan nilai hari ini tak lebih dari
enam ratus ribu saja. Penulis buku itu, Wijaya Herlambang
kemudian membuktikan perintah Ivan Kats ini dikerjakan oleh
GM setelah pada 1988 Yayasan Obor menerbitkan terjemahan
tulisan Albert Camus yang dikumpulkan menjadi sebuah
bunga rampai berjudul "Krisis Kebebasan" dengan pengantar
Goenawan Mohamad.

Goenawan Mohamad sejak Tempo diberangus rezim Soeharto
(1994) menempatkan diri sebagai pelawan orde baru yang
handal. Dengan lenyapnya Tempo GM membangun Komunitas
Utan Kayu (KUK) yang bermarkas di Jalan Utan Kayu Jakarta
Timur. Lembaga ini kemudian melahirkan serenceng lembaga
kebudayaan mulai AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia), Jaringan
Islam Liberal (JIL), Teater Utan Kayu (TUK) yang diplesetkan
bulletin Boemiputra menjadi Tempat Umbar Kelamin, sekaligus
agen imperialis Barat.

Kehadiran JIL dirasakan umat Islam terbesar sebagai alat
penghancuran Islam di negeri ini. Karena itu JIL disebut
dibiayai lembaga filantropi Barat mencapai 150.000 USD/
tahun.

Pendek kata KUK melalui lobby GM ke sejumlah orang-orang
teras USAID, berhasil menguras dananya sebesar 100.000
-200.000 USD, sehingga menempatkan KUK sebagai agen
Barat. Termasuk mendirikan ISAI (Institut Studi Arus
Informasi) pada 1995 dan belakangan membangun Salihara di
kawasan Pasar Minggu sebagai pusat budaya.

Yang sangat dirasakan menyakitkan bagi kelompok Islam
mainstream, kehadiran KUK di bawah GM, misalnya Radio FM
68, JIL, bahkan berbagai penerbitan bawah tanahnya seperti
Bergerak, X-Pos hingga Tempo majalah dan Koran Tempo
yang kini sejak era reformasi, kembali terbit, kesemua produk
GM ini cenderung menghantam aspirasi Islam.

Kini terbongkar melalui buku Wijaya Herlambang, semua ini
tidak aneh, GM sejatinya seorang komprador sejati, yang
diakuinya sendiri, dia memang dibiayai serenceng lembaga
filantropi Barat dan Asia termasuk Asia Foundation dan Japan
Foundation, termasuk tokoh Yahudi Gerge Soros itu.

Memang Herlambang belum menyajikan ulasan bagaimana
peranan GM saat rezim Soeharto jatuh di mana Soros ikut
memainkan peranan menghancurkan ekonomi Indonesia.
Hanya dikutip sekilas GM bersama Adnan Buyung Nasution
terlihat menonjol di saat itu namun bukanlah dua orang itulah
sejatinya yang memainkan peranan terpenting dalam
reformasi Mei 1998 itu.

Yang jelas melalui seluruh penampilannya, GM cenderung
berlawanan arus dengan Islam. Tatkala umat Islam makin
bersikeras menentang eksistensi aliran sesat Ahmadiyah dan
mendesak pemerintah membubarkannya, awal 2008, GM dan
kelompoknya menentangnya dan mendirikan AKKBB (Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan)
dan memajang iklan di harian Kompas menunjukkan
eksistensinya seraya mengecam umat Islam mainstream yang
dituduhnya melanggar hak-hak asasi warga Ahmadiyah,
mengancam kebhinekaan, sekaligus menyebar kebencecian,
kekerasan, dan ketakutan di tengah masyarakat.

Pengumuman yang ditandatangani 250-an nama dengan
membawa sejumlah tokoh Islam yang kurang pikir, seperti
Syafii Maarif, Gus Dur, Amien Rais, Dawam Rahardjo, Utomo
Dananjaya, dan Djohan Effendi yang memang agen
Ahmadiyah, mengundang masyarakat menghadiri apel akbar di
Monas pada 1 Juni 2008. Jadilah bentrokan di bawah tugu
Monas dengan FPI yang mengakibatkan Munarman, SH dan
Habib Rizieq Syihab dijebloskan ke penjara.

Sejak peristiwa Monas itu berkembang adagium melalui
wacana dan opini pers bahwa umat Islam dituduh selalu
menolak keberagaman, melecehkan minoritas, menolak
pluralisme, bahkan tuduhan umat Islam dan sejumlah
Ormasnya cenderung memaksakan kehendak, bahkan dengan
cara-cara vandalisme, kekerasan fisik, dan kesemuanya itu
bagai dibiarkan saja oleh aparat keamanan. Contoh yang
sering dikemukakan dalam hal ketertindasan kaum minoritas
oleh Islam adalah kasus Gereja Yasmin di Bogor, kasus
bentrokan Cikeusik Banten dengan warga Ahmadiyah, juga
kasus Syiah di Sampang Madura.

Berbagai kasus yang disebutkan sebagai contoh itu dalam
berbagai rubrik di Suara Islam seringkali dibongkar fakta yang
sebenarnya terjadi yakni pemutar-balikan fakta yang sangat
kurang ajar.

Seperti dalam diskusi bertajuk "Memilih Presiden Peduli
Pluralisme" di Forum Alumni Fisip UI Jakarta (26/1), fitnah
kepada umat Islam kembali terjadi. Pemutarbalikan fakta di
lakukan oleh seoranng panelis. Dalam diskusi itu dihadirkan
panelis Budiarto Shambasy dari Kompas, Jaya Suprana, Alvin
Lee bekas tokoh PAN.

Pendapat Budiarto Shambasy esok harinya dilansir Kompas
dengan pernyataan : “Keberagaman sudah terancam sejak
insiden Monas 1 Juni 2008. Saat itu pawai kebhinekaan
diserbu kelompok radikal dan tidak pernah ada proses hukum
yang memberi efek jera. Tragedi Monas memicu insiden lain
yang tidak jelas penyelesain hukumnya seperti kasus HKBP
Philadelpia, Syiah Sampang Madura dan Gereja Yasmin
Bogor,” Demikian Budi Shambasyi.

Pernyataan ini walau keluar dari wartawan Kompas yang
dianggap selama ini sangat cerdas ternyata jauh dari fakta
yang sebenarnya. Ia menyebut insiden Monas tidak
diselesaikan secara hukum, tentu pernyataan yang sangat
salah, karena kasus itu telah menjebloskan Munarman SH ke
dalam penjara bersama Habib Rizieq, selama satu setengah
tahun. Betapa awamnya seorang Budi Shambasyi ? Itu urusan
dia sendiri. Jika dia mau mengikuti seluruh persidangan
insiden Monas itu, dia akan mengikuti bahwa Munarman dan
Habib Rizieq tidak bersalah. Setiap kali persidangan digelar
keduanya dengan telak selalu membuktikan dirinya tidak
bersalah. Namun mereka harus mengikuti kompromi mengikuti
vonis yang dijatuhkan karena tekanan penguasa. Dokumen
persidangan semua itu masih bisa dibaca dengan gamblang
oleh siapapun termasuk oleh wartawan Kompas yang kondang
sangat pintar itu.

Barangkali sikap Budiarto seperti itu hanyalah berlagak pilon,
asal aspirasi Islam apapun harus dihantamnya. Itulah yang
juga selalu dilakukan oleh GM yang kini mewabah di negeri ini
sebagai sebuah pesanan dari alat-alat propaganda dan
intelejen Barat, khususnya AS, seperti USAID, Rand
Corporation, dan serenceng lembaga filantropi mulai
Rockefeller Foundation, Ford Foundation dan serenceng
lembaga lainnya.

Dulu kita semua hanya menduga-duga peranan GM yang telah
menjadi alat Barat, misalnya dukungan GM kepada sistem
politik dan ekonomi liberal di Indonesia—khususnya akhir-
akhir ini—dan karena itu habis-habisan ia mendukung Wapres
Boediono, tapi kini pertanyaan itu terjawab dengan buku hasil
riset bertahun-tahun yang dilakukan Wijaya Herlambang
dalam bukunya "Kekerasan Pasca Budaya 1965". Ternyata GM
hanya dihargai limapuluh dolar saja.

(Noni Halimi)

Senin, 06 Oktober 2014

IBU INI MENCEKIK ANAK KANDUNGNYA YANG BERUMUR 6 TAHUN, KARENA MENDAPATI ANAKNYA MINUM SUSU COKLAT TANPA SEIJINNYA

Texas -
Agar tak tumbuh menjadi nakal, sebagian orang tua
kerap menggunakan cara yang keras untuk mendisiplinkan
anaknya. Akan tetapi ibu yang satu ini tampaknya bersikap
berlebihan. Hanya karena anaknya minum susu tanpa izin, ibu
ini mencekik leher putranya.

Karena tindak penganiayaan tersebut, wanita bernama Ruth
Vasquez Rodriguez-Martinez ini pun ditahan polisi.
Saat diperiksa di kantor polisi, si anak yang baru berumur
enam tahun mengaku waktu itu ia menuju ke dapur dan minum
susu coklat tanpa seijin ibunya. Namun ia tak pernah
menyangka ketika ketahuan sang ibu bakal langsung marah
besar dan mencekiknya, lantas mendorong tubuhnya masuk ke
kloset, hingga kepalanya terbentur ke dinding dan berdarah.

Kepada polisi, si bocah malang ini juga mengaku saat itu ia
menangis kesakitan dan darahnya sudah berceceran di lantai
karpet rumahnya. Tapi tampaknya sang ibu tak peduli.
Dari hasil pemeriksaan Child Protective Services (CPS), pada
dahi anak ini juga ditemukan bekas luka sepanjang 1,5 inci
yang diduga akibat perbuatan ibunya tersebut.

Tak kalah mengejutkan, bocah yang dirahasiakan namanya itu
mengungkap bahwa ini bukanlah pertama kalinya sang ibu
mencekik dirinya. Sebelumnya ia juga sering dikurung di dalam
kloset tanpa alasan yang jelas.
Beruntung ketika dikonfrontir oleh polisi, Rodriguez-Martinez
mengakui perbuatannya pada sang anak. Ia mengaku telah
meremas kaos si anak lantas mencekiknya, termasuk
memukulnya dengan ikat pinggang. Namun ia tak mengakui
bila telah menghempaskan si anak ke dinding hingga muncul
bekas luka di dahinya.

Rodriguez-Martinez hanya mengatakan selama insiden itu
terjadi, tanpa disengaja kepala putranya mengenai dinding dan
muncullah bekas luka tersebut.

"Anak itu diam-diam mengambil susu cokelat dan saya sedang
berusaha mendisiplinkannya," tegasnya kepada polisi seperti
dikutip dari hlntv.com, Senin (6/10/2014).

Anehnya, setelah mengetahui kepala anaknya berdarah, ibu
berumur 23 tahun tersebut justru tak segera membawa
anaknya ke klinik atau rumah sakit terdekat. Ini ia lakukan
karena ia tak ingin ada CPS yang datang ke rumahnya.
Namun karena bukti penganiayaan yang dilakukan sang ibu
kurang kuat, Rodriguez-Martinez dapat dilepaskan dengan
membayar uang jaminan sebesar 10.000 dollar AS (sekitar Rp
122 juta).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan di Australia dan Amerika
juga mengungkap anak yang sering dipukul cenderung tumbuh
menjadi anak yang agresif sekaligus mempunyai gangguan
perilaku.

"(Karena) kebiasaan mencubit atau melakukan kekerasan fisik
terhadap anak ketika melakukan kesalahan dapat memberikan
pemahaman bahwa mencubit/melakukan kekerasan fisik boleh
untuk dilakukan untuk menyelesaikan masalah," terang Ratih
Zulhaqqi, M.Psi. dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI dan
Pusat Layanan Tumbuh Kembang KANCIL kepada detikHealth
beberapa waktu lalu.

Kamis, 02 Oktober 2014

Seorang pria Jepang tendang orang lain hingga tewas, gara gara hanya ingin makan mie


Pria Ini Tendang Orang Lain Hingga Tewas Hanya Demi Memakan Mie

Entah apa yang dipikirkan seorang pria Jepang ini, hingga ia bisa bersikap sangat sadis demi mendapatkan kursi di sebuah restoran mie.

Diberitakan Emirates 247,Rabu 1 OKtober 2014,
Shinichiro Imanishi (37) diduga telah menendang seorang pengunjung lain hingga tewas karena memperebutkan kursi di sebuah kedai mie.Ironisnya, Imanishi bisa dengan tenang kembali menyantap makanannya ketika orang yang ditendangnya terbaring sekarat.

Korban adalah Hisao Kitajima,pria berusia 49 tahun yang diduga telah dilemparkan ke lantai dan kemudian dinjak-injak berulang kali oleh Imanishi.Menurut polisi setempat asal mula kejadian ketika Kitajima menarik kursi yang Imanishi gunakan untuk kakinya.Imanishi yang memiliki berat 120 kilogram tidak melakukan apa pun untuk membantu korban setelah serangan itu. Ia malah memesan semangkuk mie dan dengan santai memakannya. Korban dilaporkan meninggal karena luka-lukanya dua hari kemudian.

SumberDream