Sabtu, 05 November 2011

Rakyat Sudah Terbiasa dinjak-injak dan Ditindas!


ADALAH pembohongan publik kalau sekarang ini dikatakan kehidupan rakyat semakin enak, kemiskinan dan pengangguran menurun, daya beli masyarakat meningkat. Buktinya, rakyat banyak berebut daging kurban saat dibagikan pada Hari Raya Idul Adha atau Hari Kurban. Bahkan, mereka sudah meninap di TKP (tempat pembagian daging kurban) sejak malam hari menunggu pembangian daging untuk ‘fakir miskin’ itu di pagi harinya. Itu pun ada yang belum tentu mendapat daging pembagian. Ini menggambarkan bahwa warga bangsa kita masih banyak yang miskin sehingga untuk berharap menikmati daging harus berjuang dengan susah payah. Padahal, bagi orang kaya terutama para koruptor, tidaklah susah untuk membeli sekantong daging.

Namun bagi kebanyakan rakyat kita yang kini semakin sengsara dalam memenuhi kebutuhan ekonomi kehidupan sehari-hari, mereka terpaksa berusah payah untuk bisa menikmati makanan daging yang tidak biasa disantapnya dalam menu sehari-hari. Saking membludaknya mereka yang antri, misalnya pembagian dari kurban di Masjid Istiqlal yang hanya mentargetkan 5.000 kupon, ternyata yang datang lebih dari 10.000 orang. Akibatnya, pagar pembatas yang dijaga oleh petugas polisi ambrol diterjang desakan warga yang antri begitu antrian dimulai pembagian daging kurban.

Demikian pula pembagian kurban di daerah-daerah lainnya se-Indonesia. Banyak kaum perempuan dan lansia yang tak berdaya terinjak-injak saat ikut berjuang untuk mendapatkan sekantong daging sapi atau kambing yang dibagikan saat Hari Kurban. Desak-desakan, terinjak-injak, nenek-nenek menjerit, wanita-wanita pingsan, anak-anak ketakutan, laki-laki pukul-pukulan, dorong-dorongan dan segala fenomena yang mengharukan di negara merdeka dan kaya sumberdaya alam ini. Bahkan, ada yang pingsan dan meninggal dunia akibat terinjak-injak dan tergenjet saat berebut mendapatkan daging kurban.

Mungkin kejadian terinjak-injak bukanlah berita luar biasa. Pasalnya, rakyat sudah setiap hari hidupnya sudah biasa terinjak-injak oleh kekuasaan dan para ‘preman’ politik dan ekonomi. Mereka yang miskin, lemah, miskin ilmu, papa, terinjak-injak, tertindas, tidak percaya diri, kehilangan martabat, dan rela menjadi korban penindasan manusia-manusia lain. Bukan hanya saat pembagian daging kurban, bahkan saat pembagian zakat, pembagian sembako, pembagian BLT, dan lain-lain. Inilah benar-benar potret asli rakyat kita sekarang ini di negara yang menganut ‘kapitalis malu-malu’.

Ini seperti penjajahan oleh orang kuat atas warga negara sendiri yang lemah. Mungkin mereka warga miskin dan rakyat awam ‘terjajah’ yang kebanyakan mengumpat, enakan negara ini dijajah Belanda, mungkin kehidupan sehari-hari lebih tercukupi. Ketimbang hidup di era penghisapan sumberdaya alam oleh orang-orang yang serakah dan perampokan duit negara oleh para koruptor yang menggila dan menggurita di negeri ini. Bahkan, ini adalah bentuk penjajahan yang lebih kejam yang menimbulkan kemiskinan dan jurang kesenjangan sosial yang menganga lebar. Bagi orang yang berduit atau berkantong tebal– tak peduli apakah itu hasil dari korupsi– bisa dengan mudahnya membeli segalanya dengan uang, tidak terkecuali membeli harga diri.

Undang Undang Dasar 1945 mengamanatkan dalam Pasal 33 Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, dan (3) Bumi dan air dan kekajaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahkan, Pasal 34 menyebutkan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.

Nyatanya, kini rakyat miskin cenderung dibiarkan terlantar. Biaya pendidikan dan kesehatan pun kelewat mahal. Jangan-jangan slogan pemberantasan kemiskinan diplesetkan menjadi pemberantasan orang miskin alias membiarkan warga negara yang miskin tetap sengsara sehingga banyak yang meninggal dunia. Akibatnya, secara statistik kuantitatif, jumlah angka kemiskinan berkurang. Dan pemerintah pun bisa dinilai telah ’berhasil’ mengurangi kemiskinan. Oleh karena itu, adalah hal yang biasa dan tidak bakalan mengetuk hati para elit di negeri ini bilamana banyak warga miskin terinjak-injak saat antri pembagian daging kurban. Mereka sudah mati rasa terhadap solidaritas. Mereka hanya mencari harta kekayaan melalui kekuasaan. Persetan dengan rakyat miskin yang sudah biasa terinjak-injak. [JakartaPress]

Penulis: Tubagus Januar Soemawinata (Universitas Nasional)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar