Kamis, 10 November 2011

Nasi Aking dan Sirnanya Empati Kita terhadap Sesama


Ketika Pak Gempur melakukan ajakan “provokatif” untuk menggempur kebijakan pemerintah yang hendak menjadikan tahun 2008 sebagai tahun politik lewat YM, tiba-tiba saja ingatan saya jatuh pada saudara-saudara kita yang bernasib tragis dan mengenaskan, bahkan berujung kematian. Ini sebuah fakta yang sulit kita bantah kebenarannya. Saat ini banyak saudara kita yang terpaksa harus makan nasi aking. Bahkan, ketika persediaan bahan makanan yang hanya layak dikonsumsi unggas itu habis, sang Malaikat Maut sudah siap untuk menjemput mereka ke alam barzah. Ironisnya, banyak pejabat kita yang sengaja membutakan matahati dan menulikan telinganuraninya. Mereka justru sibuk membangun negosiasi untuk membeli mobil dinas atau piknik ke luar negeri dengan dalih studi banding. Om Google sangat sensitif merekam berbagai peristiwa itu, sehingga kita dengan mudah dapat mengikutinya. Lihat saja di sini dan di sini.

Banyak pertanyaan yang bisa dikemukakan, mengapa sikap empati kita terhadap sesama seolah-olah sudah terkikis dari dinding hati dan nurani kita. Seiring dengan merebaknya pola dan gaya hidup materialistis, konsumtif, dan hedonistis, yang melanda masyarakat kita belakangan ini, diakui atau tidak, telah membikin perspektif kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan menyempit. Kesibukan berurusan dengan gebyar duniawi, disadari atau tidak, telah membuat kita abai terhadap persoalan esensial yang menyangkut interaksi dan komunikasi sosial terhadap sesama. Jangankan mengurus nasib orang lain, mengurus diri sendiri saja masih payah? Mengapa kita mesti repot-repot merogoh uang recehan untuk gelandangan dan pengemis kalau mencari duwit haram saja sulit? Mengapa kita susah-payah membantu korban kecelakaan lalu lintas kalau pada akhirnya kita mesti repot-repot memberikan kesaksian di depan aparat yang berwenang? Kenapa kita mesti membebani diri mengurus anak-anak telantar dan yatim piatu kalau setiap pagi kita masih kerepotan memberikan uang saku untuk sekolah anak-anak kita?

Di mata dunia, sebenarnya bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung” kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. ltulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek. Semangat “Tat twan Asi” (Aku adalah Engkau) –meminjam terminologi dalam ajaran Hindu–, telah mampu menahbiskan rasa setia kawan menjelma dan bernaung turba dalam dada bangsa kita, sehingga mampu hidup damai di tengah-tengah masyarakat multikultur.

Namun, merebaknya “doktrin” konsumtivisme, agaknya telah telanjur menjadi sebuah kelatahan seiring merebaknya pola hidup materialistik dan hedonistis, yang melanda masyarakat modern. Manusia modern, menurut Hembing Wijayakusuma telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.

Pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika.

Kesibukan memburu gebyar materi untuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian. Fenomena tersebut jelas mengingkari makna kesetiakawanan sosial yang telah dibangun para founding fathers kita, mengotori kesucian darah jutaan rakyat yang telah menjadi “tumbal” bagi kemakmuran negeri ini.

Sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi di mata dunia, bagaimanapun harus memiliki good will (kemauan baik) untuk mengondisikan segala bentuk penyimpangan moral, agama, dan kemanusiaan, pada keagungan dan kebenaran etika yang sudah teruji oleh sejarah. Budaya kita pun kaya akan analogi hidup yang bervisi spiritual dan keagamaan. Jika kultur kita yang sarat nilai falsafinya itu kita gali terus, niscaya akan mampu menumbuhkan keharmonisan dan keseimbangan hidup, sehingga mampu mewujudkan paguyuban hidup sosial yang jauh dari sikap hipokrit, arogan, dan bar-bar.

Yang kita perlukan sekarang adalah bagaimana menumbuhsuburkan nilai-nilai empati itu dari generasi ke generasi. Secara naluriah, manusia membutuhkan pengakuan dan pengertian. Kedua kata inilah yang selama ini, disadari atau tidak, telah hilang dalam kamus kehidupan kita. Empati sangat membutuhkan kehadiran dua kosakata indah ini. Merebaknya berbagai praktik kekerasan dan vandalisme pun sebenarnya disebabkan oleh runtuhnya pilar pengakuan dan pengertian tadi. Kita makin tidak intens dalam mengakui keberadaan orang lain dan makin tidak apresiatif untuk mengerti keberadaan orang lain.

Sungguh, benar-benar sebuah tragedi kemanusiaan yang terpampang di atas panggung sosial negeri ini apabila banyak saudara kita yang mati kelaparan, justru pemerintah hendak mencanangkan tahun 2008 sebagai tahun politik; tahun warming up menuju pesta demokrasi 2009. Sekali lagi, kita disuguhi lakon-lakon absurd yang membuat dada kita makin terasa sesak.

Yup, meski hanya sebatas kata-kata dan retorika, mari kita sambut ajakan untuk mencanangkan 2008 sebagai Tahun Antikelaparan dan Gizi Buruk dengan cara memasang banner dan membuat postingan khusus. Semoga langkah kecil kita ini bisa memberikan bisikan “gaib” di telinga para pengambil keputusan untuk membangun kepedulian terhadap nasib saudara-saudara yang kurang beruntung. ***

by Sawali Tuhusetyain Budaya, Opini, Refleksi Tags: Artikel, Edukasi, empati, Kearifan Lokal, kekerasan, Kesetiakawanan sosial, moral, Opini, Politik, Sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar